Pengakuan Orang Maroko Tentang Negaranya Sendiri
Santri Maroko - Sore ini selepas mengantarkan seorang teman di terminal bus CTM, aku dan temanku _sebut saja namanya Gus Pablo_ mencoba berjalan terlebih dahulu menikmati suasana Haomat Chouk, kota Tangier sebelum memutuskan pulang menggunakan taksi. Soalnya tak seperti biasanya lokasi itu ramai. Di situ memang banyak anak - anak bermain futsal di beberapa lapangan sintetis yang tersedia, namun tampaknya di belakang sana ada keramaian lain.
Karena penasaran dan menganggap ini hal baru (padahal lokasi ini dekat dengan rumah, tapi kita jarang banget menjelajahinya. Terakhir kali kami ke sini dengan berjalan kaki adalah dua tahun yang lalu) kami pun datang mengobati rasa penasaran ini.
Benar, ada semacam pasar tumpah di belakang lapangan futsal. Tampak beberapa wahana permainan laiknya komedi putar dan sejenisnya ramai dikerubuti oleh warga. Mayoritas adalah anak-anak dan ibu-ibu. Meskipun wahana ini tidak terlalu besar dan modern, namun raut kebahagiaan tampak keluar dari wajah mereka. Ada yang melambaikan tangan kepada orang yang dikenalinya, ada yang sibuk berselfie ria, ada pula yang berkonsentrasi dengan gerakan wahana yang dinaikinya. Semuanya terhibur.
Ku susuri ke dalam, tampak beberapa lapak menjual barang-barang bekas, seprti baju, alat elektronik, sepatu, dan peralatan rumah tangga. Penjual aneka kacang juga sibuk melayani pembelinya. Semakin penasaran, kami pun terus masuk ke dalam. Ternyata ini benar-benar pasar yang cukup besar. Dilihat dari bangunannya tampak seperti pasar baru, atau pasar tumpah yang hanya ada saat hari-hari tertentu, fikirku.
Beberapa kutanyai harga barang, sepertinya lebih murah dibanding tempat lain. Ada jaket musim dingin, sweeter, celana, sepatu, buah-buahan dan sayur mayur yang ramai oleh pengunjung. Semakin ke dalam kami menyusuri semakin beragam barang yang dijual. Beberapa orang memandangi kami dengan antusias, ada orang bule Asia, pikirnya barangkali.
Aroma makanan sempat menggoda perut kami yang dalam keadaan lapar. Eh, kebetulan sekali di depan kami melintasi sebuah warung kecil yang dijaga oleh seorang bapak yang sudah cukup berumur. Tubuhnya tidak gemuk dan rambutnya banyak yang beruban. Kami tertarik dengan salah satu makanan di etalase miliknya. Ku taksir itu semacam martabak atau gorengan yang belum pernah kita temui di kota ini. "Ammo, chnu hado?", tanyaku soal makanan yang ku tunjuk di etalase. "Tortilla" sahutnya. Lalu ia sambung penjelasannya itu dengan Bahasa Spanyol. Kami menggeleng dan memintanya mengulang penjelasan dengan English atau Francais, tapi ganti ia yang menggeleng. Baiklah, Arabiah kalau gitu. Wakho.
Dijelaskan bahwa Tortilla ini terbuat dari kentang yang dipotong kecil-kecil. Kemudian digoreng dalam penggorengan datar dengan beberapa campuran bumbu dan bawang merah. Tampaknya ada juga campuran telur. Kami pun duduk pada dua kursi yang tersedia di warung kecil ini karena kami tertarik untuk membelinya.
Sembari menunggu Tortilla dihidangkan dalam balutan roti, kami ngobrol-ngobrol ringan dengan si bapak. Sebenarnya beliau yang mengawali, "Dari Indonesia?'. Iya, benar, Pak. "Indonesia orangnya baik-baik. Sebuah masjid di Madrid dulu pernah diimami oleh orang Indonesia. Orang Indonesia sangat baik." Wah serius, Pak?
Obrolan kami pun semakin akrab. Beliau menceritakan kehidupannya selama 18 tahun di Spanyol. Istri dan kedua anaknya kini tinggal di Spanyol. Menjalani kehidupan layak di sana. Aku dan Gus Pablo pun membatin, jarang sekali orang Maroko seusia bapak ini yang mau berjualan atau usaha cari uang halal. Kami sering melihatnya menjadi pengemis, pengangguran, atau calo tiket yang suka maksa-maksa. Kami salut. Barangkali berkat kehidupannya di Spanyol, jadi orangnya lebih open minded. Yah, meskipun warung sekecil ini tidak terlalu besar keuntungan yang diperoleh.
Bapak ini sangat ramah. Empat ekor ikan goreng dihidangkan beserta potongan sosis mortadila. Saat ku tanya mengapa tidak menyusul keluarganya di Spanyol, katanya ada sesuatu yang menghalanginya untuk keluar dari Maroko. Beberapa bulan lagi barang kali semua urusan selesai.
Aku penasaran dengan teh yang dihidangkan untuk seorang anak kecil, ada campuran semacam dedaunan tapi bukan daun mint sebagaimana kebiasaan orang Maroko yang ku lihat. Ini daun Chiba tandasnya. Wah,, boleh coba, Pak. Sepertinya nikmat. Benar saja, rasanya tidak terlalu menyengat seperti mint. Lebih lembut dan beraroma khas. Menurutnya, chiba ini lebih bagus memang dari pada mint.
Kami pun kembali berbincang soal kehidupannya di Spanyol. Hingga akhirnya ia membandingkannya dengan kehidupan di Maroko. Tanpa ragu, ia katakan lebih suka hidup di Spanyol karena ruh Islam ternyata lebih hidup di sana dari pada di Maroko yang mayoritas muslim. Benarkah, Pak? Iya serius. Orang sana lebih beretika dan lebih disiplin. Mereka memang bukan muslim tapi sikap mereka lebih mencerminkan ajaran Islam yang sesungguhnya.
Di sana semua masyarakat dilayani dengan baik, di rumah sakit, di kepolisian, dan di layanan publik lain. Mereka lebih sigap dan lebih ikhlas dalam memberikan pelayanan. Beda jauh dengan Maroko, di mana hanya uanglah yang bisa mempermudah semua urusan. Bagi yang tak berduit, jangan harap mendapatkan layanan yang layak saat di rumah sakit. Ibarat nyawa sisa di leher pun tak akan mereka lirik kalau pasien adalah orang miskin.
Kami juga mengiyakan hal ini. Kami punya banyak pengalaman pahit ketika harus berhadapan dengan petugas kepolisian saat proses pembuatan kartu identitas iqomah. Juga saat teman kami kepayahan dengan pelayanan dokter di rumah sakit. Kami bersaksi atas semua ini.
Keasyikan ngobrol membuat kami lupa untuk pulang padahal adzan magrib sudah lama berlalu. Untuk dua porsi Tortilla dalam roti, empat ikan goreng, potongan sosis mortadila dan empat gelas kecil teh chiba harganya hanya hanya 12 Dirham. Wow murah sekali. Sumpah.
Barokallahu fiik. Kami pun berpamitan. Kami juga sempat mencatat kontak beliau. Pak Muhammad namanya. Tak ku sangka, di depan pintu banyak anak-anak yang memandangi kami. Kami jadi agak sungkan keluar dan membuka pintu dengan agak gugup. Sesaat setelah kami keluar, seorang gadis yang datang bersama ibunya menyapa kami. Setelah mendapat lemparan senyum, rautnya pun tampak lebih cerih dan tangannya menarik lengan ibunya. Hingga langkah kaki ini pun keluar meninggalkan pasar dengan sedikit rasa yang tertinggal.
Haomat Chouk, 17 Desember 2018
Karena penasaran dan menganggap ini hal baru (padahal lokasi ini dekat dengan rumah, tapi kita jarang banget menjelajahinya. Terakhir kali kami ke sini dengan berjalan kaki adalah dua tahun yang lalu) kami pun datang mengobati rasa penasaran ini.
Benar, ada semacam pasar tumpah di belakang lapangan futsal. Tampak beberapa wahana permainan laiknya komedi putar dan sejenisnya ramai dikerubuti oleh warga. Mayoritas adalah anak-anak dan ibu-ibu. Meskipun wahana ini tidak terlalu besar dan modern, namun raut kebahagiaan tampak keluar dari wajah mereka. Ada yang melambaikan tangan kepada orang yang dikenalinya, ada yang sibuk berselfie ria, ada pula yang berkonsentrasi dengan gerakan wahana yang dinaikinya. Semuanya terhibur.
Ku susuri ke dalam, tampak beberapa lapak menjual barang-barang bekas, seprti baju, alat elektronik, sepatu, dan peralatan rumah tangga. Penjual aneka kacang juga sibuk melayani pembelinya. Semakin penasaran, kami pun terus masuk ke dalam. Ternyata ini benar-benar pasar yang cukup besar. Dilihat dari bangunannya tampak seperti pasar baru, atau pasar tumpah yang hanya ada saat hari-hari tertentu, fikirku.
Beberapa kutanyai harga barang, sepertinya lebih murah dibanding tempat lain. Ada jaket musim dingin, sweeter, celana, sepatu, buah-buahan dan sayur mayur yang ramai oleh pengunjung. Semakin ke dalam kami menyusuri semakin beragam barang yang dijual. Beberapa orang memandangi kami dengan antusias, ada orang bule Asia, pikirnya barangkali.
Aroma makanan sempat menggoda perut kami yang dalam keadaan lapar. Eh, kebetulan sekali di depan kami melintasi sebuah warung kecil yang dijaga oleh seorang bapak yang sudah cukup berumur. Tubuhnya tidak gemuk dan rambutnya banyak yang beruban. Kami tertarik dengan salah satu makanan di etalase miliknya. Ku taksir itu semacam martabak atau gorengan yang belum pernah kita temui di kota ini. "Ammo, chnu hado?", tanyaku soal makanan yang ku tunjuk di etalase. "Tortilla" sahutnya. Lalu ia sambung penjelasannya itu dengan Bahasa Spanyol. Kami menggeleng dan memintanya mengulang penjelasan dengan English atau Francais, tapi ganti ia yang menggeleng. Baiklah, Arabiah kalau gitu. Wakho.
Dijelaskan bahwa Tortilla ini terbuat dari kentang yang dipotong kecil-kecil. Kemudian digoreng dalam penggorengan datar dengan beberapa campuran bumbu dan bawang merah. Tampaknya ada juga campuran telur. Kami pun duduk pada dua kursi yang tersedia di warung kecil ini karena kami tertarik untuk membelinya.
Sembari menunggu Tortilla dihidangkan dalam balutan roti, kami ngobrol-ngobrol ringan dengan si bapak. Sebenarnya beliau yang mengawali, "Dari Indonesia?'. Iya, benar, Pak. "Indonesia orangnya baik-baik. Sebuah masjid di Madrid dulu pernah diimami oleh orang Indonesia. Orang Indonesia sangat baik." Wah serius, Pak?
Obrolan kami pun semakin akrab. Beliau menceritakan kehidupannya selama 18 tahun di Spanyol. Istri dan kedua anaknya kini tinggal di Spanyol. Menjalani kehidupan layak di sana. Aku dan Gus Pablo pun membatin, jarang sekali orang Maroko seusia bapak ini yang mau berjualan atau usaha cari uang halal. Kami sering melihatnya menjadi pengemis, pengangguran, atau calo tiket yang suka maksa-maksa. Kami salut. Barangkali berkat kehidupannya di Spanyol, jadi orangnya lebih open minded. Yah, meskipun warung sekecil ini tidak terlalu besar keuntungan yang diperoleh.
Bapak ini sangat ramah. Empat ekor ikan goreng dihidangkan beserta potongan sosis mortadila. Saat ku tanya mengapa tidak menyusul keluarganya di Spanyol, katanya ada sesuatu yang menghalanginya untuk keluar dari Maroko. Beberapa bulan lagi barang kali semua urusan selesai.
Aku penasaran dengan teh yang dihidangkan untuk seorang anak kecil, ada campuran semacam dedaunan tapi bukan daun mint sebagaimana kebiasaan orang Maroko yang ku lihat. Ini daun Chiba tandasnya. Wah,, boleh coba, Pak. Sepertinya nikmat. Benar saja, rasanya tidak terlalu menyengat seperti mint. Lebih lembut dan beraroma khas. Menurutnya, chiba ini lebih bagus memang dari pada mint.
Kami pun kembali berbincang soal kehidupannya di Spanyol. Hingga akhirnya ia membandingkannya dengan kehidupan di Maroko. Tanpa ragu, ia katakan lebih suka hidup di Spanyol karena ruh Islam ternyata lebih hidup di sana dari pada di Maroko yang mayoritas muslim. Benarkah, Pak? Iya serius. Orang sana lebih beretika dan lebih disiplin. Mereka memang bukan muslim tapi sikap mereka lebih mencerminkan ajaran Islam yang sesungguhnya.
Di sana semua masyarakat dilayani dengan baik, di rumah sakit, di kepolisian, dan di layanan publik lain. Mereka lebih sigap dan lebih ikhlas dalam memberikan pelayanan. Beda jauh dengan Maroko, di mana hanya uanglah yang bisa mempermudah semua urusan. Bagi yang tak berduit, jangan harap mendapatkan layanan yang layak saat di rumah sakit. Ibarat nyawa sisa di leher pun tak akan mereka lirik kalau pasien adalah orang miskin.
Kami juga mengiyakan hal ini. Kami punya banyak pengalaman pahit ketika harus berhadapan dengan petugas kepolisian saat proses pembuatan kartu identitas iqomah. Juga saat teman kami kepayahan dengan pelayanan dokter di rumah sakit. Kami bersaksi atas semua ini.
Keasyikan ngobrol membuat kami lupa untuk pulang padahal adzan magrib sudah lama berlalu. Untuk dua porsi Tortilla dalam roti, empat ikan goreng, potongan sosis mortadila dan empat gelas kecil teh chiba harganya hanya hanya 12 Dirham. Wow murah sekali. Sumpah.
![]() |
Satu porsi Tortilla, sosis dan dua ikan goreng beserta fud gelas kecil teh chiba seharga 6 Dirham. |
Barokallahu fiik. Kami pun berpamitan. Kami juga sempat mencatat kontak beliau. Pak Muhammad namanya. Tak ku sangka, di depan pintu banyak anak-anak yang memandangi kami. Kami jadi agak sungkan keluar dan membuka pintu dengan agak gugup. Sesaat setelah kami keluar, seorang gadis yang datang bersama ibunya menyapa kami. Setelah mendapat lemparan senyum, rautnya pun tampak lebih cerih dan tangannya menarik lengan ibunya. Hingga langkah kaki ini pun keluar meninggalkan pasar dengan sedikit rasa yang tertinggal.
Haomat Chouk, 17 Desember 2018
Wow
BalasHapus